Senin, 09 Mei 2011

Fenomena Merapi = Berkah atau Kutukan?

Tidak begitu lama setelah genting diderukan bencana banjir di Wasior, kini wilayah Yogyakarta yang mengalami guncangan serupa. Diawali oleh status merapi yang semakin meningkat setiap harinya sampai pada puncaknya, yakni pada tanggal 29 September 2010 silam, merapi mulai menumpahkan sebagian isinya ke wilayah di sekitarnya yang sebagian besar merupakan daerah yang terdapat di wilayah Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Intensitas letusan yang terjadi memang cukup besar dibandingkan letusan-letusan di tahun sebelumnya. Keparahan tingkat musibah ini ditandai pula oleh derasnya hembusan abu vulkanik merapi yang merambah sampai pada wilayah Yogyakarta selatan yang jaraknya berkisar 20-25 km dari puncak gunung merapi.

Kepanikan warga Sleman dan sekitarnya atas peristiwa tersebut pun kian mencekam. Sebagian besar dari mereka diungsikan menuju pos-pos pengungsian yang telah dipersiapkan dengan segala fasilitas yang terbatas. Korban jiwa pun mulai berjatuhan. Berdasarkan data yang terpajang di papan data pengumuman RSUP DR. Sardjito tercatat sekitar puluhan korban meninggal dunia dan beberapa diantaranya menderita luka-luka, dari jenis ringan sampai berat. Bahkan seorang pemuka terkenal dari merapi yang kita kenal sebagai juru kuncen merapi, Mbah Marijan tak luput menjadi korban atas keganasan letusan merapi. Oleh karenanya, bencana ini tak bisa dianggap sebagai bencana biasa mengingat begitu parahnya dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut.

Aktivitas setelahnya, tanggal 30 September 2010, setelah letusan pertama merapi membuat kondisi Yogyakarta dan sekitarnya menjadi tidak begitu nyaman untuk disinggahi. Kondisi lingkungan yang dipenuhi oleh abu debu vulkanik menuntut warga masyarakat di wilayah tersebut untuk menggunakan masker dimanapun mereka berada sebagai upaya untuk menghindari bahaya iritasi saluran pernafasan ketika dengan tidak sengaja menghirup udara yang mengandung debu vulkanik merapi tersebut. Deru lintasan ambulance kian membuat genting suasana karena begitu banyak korban yang berjatuhan untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dari rumah sakit pusat yang berada di selatan Yogyakarta. Banyak pemberitaan kemudian mengalihkan pemberitaan Wasior ke pemberitaan mengenai letusan merapi sejak saat itu baik di media cetak maupun elektronik. Begitu pula dengan trending topics di salah satu situs jejaring sosial terkenal yang kemudian memunculkan semacam bentuk doa dalam sebuah tagline yang tertulis #PrayforIndonesia.

Sebagai seorang mahasiswa perantauan yang menetap di Yogyakarta untuk hal akademik, peristiwa ini menjadi sesuatu yang langka untuk dialami. Beberapa mengaku khawatir dan takut akan keamanan kondisi Yogyakarta setelah letusan pertama merapi. Namun ada sebagian yang merasa cukup senang karena baru pertama kalinya menyaksikan fenomena alam yang tak lazim ditemui berupa letusan gunung merapi disertai dengan hujan abu vulkanik yang terlihat seperti hujan salju yang tak sebenarnya. Kondisi akademik terus berjalan seperti biasa karena pada saat itu dampak yang ditimbulkan memang belum sampai pada wilayah Universitas Gadjah Mada dan sekitarnya.

Tidak lama setelahnya, tepatnya sekitar 5 hari setelah letusan pertama, yakni pada tanggal 5 November 2011, Yogyakarta kembali dihebohkan dengan guncangan letusan merapi yang lebih besar dari sebelumnya. Kali ini letusan merapi yang keluar dini hari itu telah membuat radius jarak aman diperpanjang sekitar 25-30 km dari pusat merapi, artinya wilayah Universitas Gadjah Mada tak luput menjadi jarak batas minimal yang harus ditinggali oleh para pengungsi merapi yang pada kala itu berbondong-bondong berkelana turun ke selatan menjauhi merapi. Tak ayal lagi situasi dan kondisi menjadi lebih parah karena peristiwa ini terjadi begitu cepat sehingga membuat warga yogyakarta menjadi gusar dan resah akan peristiwa tersebut. Peliputan media, baik dari elektronik maupun cetak kini berlalu lalang di wilayah UGM dan sekitarnya. Beberapa gedung utama kampus UGM pun disulap secara singkat menjadi tempat-tempat penampungan ribuan pengungsi korban letusan merapi yang terlihat lelah dan pasrah akan segala nasib yang tengah menimpa mereka kala itu. Seperti itulah merapi, tanpa tanda dan gejala, dengan seketika meluluhlantahkan wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Kegiatan perkuliahan di bebearapa perguruan tinggi Yogyakarta, termasuk Universitas Gadjah Mada praktis diistirahatkan sejenak, mengingat tidak kondusifnya situasi dan kondisi saat itu. Sebagai mahasiswa yang tak hentinya disibukkan oleh setumpuk tugas perkuliahan, praktikum serta beberapa aktivitas organisasi kelembagaan, hal ini menjadi sesuatu yang langka adanya karena jangka waktu libur perkuliahan yang diberikan ternyata cukup panjang, yakni sekitar satu minggu. Memang bukan hal yang terlalu “wah” untuk dibanggakan, mengingat pada saat itu banyak sekali mahasiswa perantauan yang akhirnya pulang menuju kampung halamannya masing-masing. Pusat penjualan agen perjalanan, terminal serta stasiun membludak dipenuhi calon penumpang ke berbagai tujuan. Sungguh tak dapat dibayangkan, ditengah kepedihan duka akibat letusan gunung merapi ternyata terdapat sedikit berkah bagi mereka, para civitas akademia yang rindu akan ayah dan bundanya dan kemudian memiliki kesempatan untuk berjumpa dalam beberapa waktu singkat sesuai dengan jatah libur kondisional akibat letusan gunung merapi.

Fenomena Merapi = Berkah atau Kutukan?” merupakan suatu hal yang benar-benar kondisional untuk dijawab, tergantung dari siapa yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Ketika kita kembalikan arah kacamata kita menuju korban merapi, dugaan sementara tertuju kepada pilihan selain dari kata “berkah”. Bagaimana dapat kita bayangkan secara tiba-tiba letusan merapi menimbulkan dampak yang begitu besar bagi saudara-saudara kita di Yogyakarta yang kemudian kehilangan rumah, harta, sumber penghidupan bahkan sanak saudaranya. Tentunya hal tersebut membuat kita merasa tercengang dan terluka ketika kita membayangkan untuk memposisikan diri menjadi bagian dari mereka, para korban letusan merapi.

Namun, dibalik semua itu, letusan merapi tidaklah semata-mata menjadi suatu gambaran yang bersifat negatif untuk dipandang. Yakinilah, bahwa “Allah tidak akan memberikan suatu musibah/cobaan diluar kemampuan hamba-Nya”. Dan hal serupa cukup tergambarkan dalam deret peristiwa luar biasa yang dapat kita ambil contoh bagaimana seharusnya sikap terbaik kita dalam menyikapi permasalahan hidup dan bencana.

Pada saat bencana letusan merapi melanda, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kemudian menutup mata seraya tidak mempedulikan akan kepedihan di wajah saudara-saudara kita yang menjadi korban dari bencana tersebut. Bantuan deras datang silih berganti. Berbagai kelompok masyarakat bahu-membahu membuat kotak amal sumbangan untuk korban merapi. Kita mampu melihat sendiri bahwa koordinasi serta kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia seketika memuncak. Masyarakat yogyakarta yang tidak mengalami dampak langsung merapi, seketika berubah haluan menjadi agen terdepan sebagai relawan di beberapa lokasi pengungsian tempat korban letusan merapi tinggal. Banyak dari mereka mengakui bahwa mereka tak pernah mengenal teman-teman penolong satu tim mereka sebelumnya, namun dengan cepat mereka mampu bekerjasama secara lancar tanpa perlu canggung karena belum mengenal satu sama lain. Rasa persaudaraan yang mereka rasakan begitu erat. Musibah itu kini telah merubah secara positif hati dan fikiran bersama-sama menanggung kesedihan dan berbagi semangat kembali menuju arah kehidupan yang lebih baik. Banyak kemudian diantara mereka yang benar-benar merasakan sulitnya keadaan yang harus dijalani oleh teman-teman di pengungsian sebagai suatu tahap pembelajaran diri bahwa hidup sesungguhnya tidak selalu dalam keadaan mudah dan nyaman.

Begitu halnya yang dirasakan oleh teman-teman relawan peduli merapi yang secara nyata menggambarkan rasa syukurnya kepada Allah karena telah diberikan kesempatan untuk bisa membantu dan menemani para korban pengungsian di sebuah stadion besar daerah Maguwoharjo. Dengan kejadian ini, banyak sekali pembelajaran yang dapat diambil, seperti bagaimana cara untuk menggunakan air sehemat mungkin karena terbatasnya pasokan air saat itu, padahal pada kondisi normal seringkali kita menghambur-hamburkan air untuk mandi berjam-jam dalam cakupan bath-tub berukuran besar. Pelajaran lainnya yang tak kalah bermakna adalah betapa bersyukurnya kita ketika saat itu mendapatkan porsi makan walaupun hanya berisi nasi yang terkadang sangit dengan sedikit potongan tempe dan irisan kacang panjang menjadi suatu santapan yang luar biasa lezatnya ketika dinikmati bersama-sama dengan korban pengungsian dengan diiringi selingan gerak canda dan senyum mereka yang terlihat sepintas terlupakan oleh bencana. Bagaimana kemudian tertidur diatas selembar alas koran menjadi sebuah tempat tidur terempuk yang tak akan terlupakan ketika bersama-sama tergeletak sejenak melepas lelah di barak pengungsian bersama ribuan pengungsi dan relawan lainnya menembus dinginnya malam menanti harap agar kemudian bencana ini cepat berakhir.

Makna akan kehidupan yang penuh akan makna ternyata tidak hanya menjadi suatu berkah pembelajaran bagi para relawan yang setia mendampingi para korban letusan merapi saja, melainkan juga kepada para korban sendiri yang tertimpa musibah secara langsung. Perlu diketahui, bahwa kebanyakan para korban tersebut merupakan masyarakat dengan tingkat menegah ke bawah yang seringkali luput akan pelayanan gizi dan kesehatan secara memadai. Bersamaan dengan bencana ini, beberapa bentuk pelayanan gizi dan kesehatan mulai mendekati para korban bencana seraya memberikan suatu bentuk fasilitas agar kondisi kesehatan mereka terpantau dalam keadaan sehat. Beberapa diantara mereka secara terkontrol mendapatkan beberapa bentuk pelayanan gizi dan kesehatan yang sebelumnya belum pernah mereka dapatkan. Mahalnya biaya yang harus dibayarkan menjadi salah satu kendala bagi mereka untuk tidak mendapatkan pelayanan gizi dan kesehatan secara optimal. Namun hal tersebut berbeda pada saat mereka terpapar bersama di barak pengungsian. Disini, beberapa bentuk layanan kesehatan diterima secara gratis dan kualitas kesehatan mereka cukup terpantau aman karena faktor kesehatan menjadi hal nomor satu yang diutamakan ketika status mereka masih sebagai pengungsi.

Bentuk layanan lain yang dapat dirasakan sebagai tambahan benefit bagi kaum pengungsi adalah terbentuknya pendidikan mini di barak pengungsian yang terkadang menjadi suatu hal jarang untuk ditemui. Walaupun dengan fasilitas terbatas, namun pelayanan pendidikan khususnya terapi psikologis pasca bencana kerap mereka temukan disini. Banyak hal berbeda yang diajarkan oleh para relawan mengenai konsep pembelajaran menarik yang kemudian disukai oleh adik-adik pengungsi dan dimaknai sebagai suatu cara pembelajaran sambil bermain yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya. Disini mereka disuguhi oleh beberapa permainan atraktif yang terkadang belum pernah digunakan oleh beberapa sekolah dasar pada umumnya. Tentunya hal ini menjadi sesuatu hal baru yang dapat menimbulkan kesan berbekas di hati adik-adik pengungsian.

Sekelompok mahasiswa perantauan yang tidak terlibat sebagai pengungsi ataupun relawan juga tertimpa berkahnya. Mendapatkan jatah libur mendadak selama 1 minggu memang bukan semata-mata hadiah yang luar biasa. Tetapi, secara nyata hal ini menjadi sensasi berkah tersendiri dimana secara tiba-tiba mereka diperkenankan untuk mendapatkan beberapa waktu sejenak menghela nafas dari padatnya aktivitas perkuliahan untuk kemudian berkumpul bersama dengan sanak keluarga tercinta di kampung halaman. Hal ini agaknya menjadi sedikit ironis dimana teman-teman lain menjadi relawan tinggal berdesakan dengan para pengungsi di barak pengungsian, namun beberapa lainnya justru memilih pulang ke kampung halaman untuk beristirahat dan berlibur sejenak selama seminggu lamanya. Akan tetapi, kita kembalikan kembali dimana kita meletakkan sudut pandang kita dalam menyikapi fenomena hal tersebut. Masing-masing dari mereka tentunya mendapatkan beberapa manfaat tersendiri dari jalan mana yang mereka pilih, sebagai seorang relawan ataukah mahasiswa yang rindu untuk pulang ke kampung halamannya.

Ketika kemudian ditanyakan sekali lagi, “Fenomena Merapi = Berkah atau Kutukan?” bagaimana kemudian jawaban atas pertanyaan itu kembali kepada kita yang akan menjawabnya. Sudah saatnya cara pikir masyarakat Indonesia tidak lagi berhaluan ke arah negatif untuk menyikapi bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Walaupun tidak ringan, namun kita disini tidak sendiri untuk menerima dampak bencana tersebut. Ketika kita benar-benar menyadari bahwa bencana tersebut bukanlah sebuah kutukan maka kita akan benar-benar merasakan bahwa dibalik kesedihan tersebut tersimpan sebuah berkah bagi kita semua, baik yang secara langsung mengalami maupun tidak untuk kemudian menyadarinya ada suatu titipan rasa kasih sayang Allah swt yang patut dimaknai bersama dibalik peristiwa bencana.

Sekian .


pssst, ini pengalaman pertama saya menulis untuk Annes (Annual Essay Competition 2011)memang masih belum mendapatkan juara, wong nilainya juga ga tinggi-tinggi banget, karena saya puas telah mencoba di tengah kepadatan jalan raya, hehehe! maksutnya kepadatan tugas, next time ikut lagi ah .... Do what you wanna do :D get what you wanna get :D keep spirit, people !


2 komentar:

  1. mbak tulisannya baguuuuuuuuuuussss!!

    tapi gua ada sedikit kritik. lo nyeritainya agak nyampur2, jadi gak keliatan kekontrasannya. dan judulnya dengan tulisan masih kurang berelasi mbak.

    tapi kereeeeeeennn!

    BalasHapus
  2. waaah bang gue ga tau loh kalo ternyata lo comment jugaa, makasih yaaa.. seneng deh dibilang kereeeeennn ... aaaaaaa :D :D :D

    iya itu salah satu jeleknya gue, kalo nulis suka ngalor ngidul padahal itu udah ditentukan pont temanya tapi entah kenapa gue masih suka ngalor ngidul .. ahaha

    gimana blog lo bang? jd publish di gagas media-kah?

    BalasHapus